Jumat, 07 Januari 2011
KESEDERHANAAN SANG PEMILIK RIMBA
Menembus Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dari Desa Keritang, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir dan Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Indragiri Hulu, Riau, kekaguman dan rasa miris di hati datang silih berganti.
Rasa senang, trenyuh, dan kagum melingkupi hati ketika bertatap muka dan berinteraksi langsung dengan para “pemilik” rimba sesungguhnya. Mengawali perjalanan menuju Dusun Tuo Datai, yang termasuk dalam wilayah Desa Rantau Langsat, untuk berjumpa dengan Suku Talang Mamak, secara kebetulan bertemu dulu dengan saudara mereka, Suku Rimba.
Suku Rimba yang juga kerap disebut Suku Anak Dalam ini masih hidup berpindah-pindah dalam hutan. Mereka berburu dan menetap sementara di lokasi-lokasi tertentu dengan mendirikan pondok-pondok sederhana beratap plastik atau dedaunan dan beralas susunan batang kayu.
Hasil buruan menjadi makanan sehari-hari. Dengan mencari getah jernang, rotan, atau hasil hutan nonkayu lainnya, mereka menambah penghasilan. Biasanya dalam periode waktu tertentu mereka keluar dari hutan untuk menjualnya kepada para tauke (pengepul) yang memasok kebutuhan beras, kain, dan beberapa barang lainnya.
Jauh di tengah taman nasional, Suku Talang Mamak hidup pula dengan sangat sederhana memanfaatkan hutan tempat tinggalnya. Suku Talang Mamak yang menetap di Dusun Tuo Datai merupakan bagian dari lima kelompok besar suku ini yang tersebar di 144.223 hektar kawasan taman nasional.
Dengan membuka sebagian hutan, mereka berladang karet dan menanam padi. Warga Dusun Tuo Datai tinggal di rumah-rumah panggung berdinding kulit kayu atau bambu serta beratap rumbia.
Suku Talang Mamak seperti halnya Suku Rimba tidak pernah menebang kayu sembarangan, apalagi untuk diperjualbelikan liar. Mereka membuka hutan hanya untuk keperluan berladang yang disesuaikan kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang lebat di sekeliling mereka telah dibagi-bagi, ada kawasan terlarang yang sama sekali tidak boleh dirambah.
Kearifan lokal kian menonjol pada fakta bahwa mereka lebih menyandarkan diri pada pemanfaatan hasil hutan nonkayu untuk menyambung hidup.
Hal ini terus dilakukan sejak masa nenek moyang. Meskipun harus bersusah-susah dan bersabar, mereka menunjukkan mampu tetap hidup aman, tenteram, dan terjamin tanpa merusak alam.
Namun, kesederhanaan dan kearifan para pemilik rimba ini tidak digubris oleh manusia di luar hutan yang menobatkan dirinya sebagai orang yang lebih beradab. Pembalakan dan perambahan liar semakin ganas menyerang kawasan penyangga TNBT dan dikhawatirkan bakal menembus taman nasional berdalih pada alasan pemberdayaan hutan.
Kerusakan hutan pun makin mengusik dan menambah beban hidup kedua suku pedalaman ini. Mereka makin susah mencari hewan buruan, madu, ikan di sungai, getah jernang, maupun damar atau karet. Mereka hanya dapat terus berusaha bertahan dan berseru kepada pemerintah agar lebih memerhatikan nasib mereka.***
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/21/foto/2675373.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).